Ketika Jumat Belum Kiamat (Bag. 2)

Hari semakin siang. Si kaki kanan makin parah sakitnya. Akhirnya, keputusan untuk pindah rumah sakit pun harus diambil. 

Alasannya karena RS Abdul Waluyo itu rumah sakit khusus jantung. Jadinya, selain karena dokter yang urus tulang baru tersedianya sore banget, saya memang harus segera diambil tindakan.

Jreng! Saya pun sudah berpindah rumah sakit. Kali ini di rumah sakit khusus tulang; RS Siaga Raya. 

Setelah menunggu agak lama di UGD dan pake acara langsung pasang infusan, saya pun mendapat ruang rawat inap. 

  
Botol infusannya langsung dua. Ekstrem banget buat saya (uh… siap-siap jadi sapi gelonggongan nih). 

Sorenya, seorang suster datang. Kata suster, bentar lagi ada dokter Abu yang akan datang untuk cek saya. Dokter Abu ini adalah dokter yang akan menganestesi saya saat operasi besok (Sabtu 26/9).

“HA?! OPERASI, SUS?!”

Susternya ketawa ringan sambil mengangguk. 

“Gak ada solusi lain, Sus?” tanya saya.

Solusi lain semacam pakai ilmu tenaga dalam yang bisa nyembuhin tanpa sentuhan gitu, Sus. Gak ada, Sus?! GAK ADA, SUS?!! Aaaaah Susteeeeeeeer…!

“Kan kakinya patah-patah gitu. Jadi, memang harus operasi,” jawab suster.

Patah-patah, goyang dangdut kali ah.

“Halo, selamat sore… Mita.” Tiba-tiba suara berat dan sebuah wujud pun muncul dari balik tirai. Oh, ini pasti dokter Abu.

“Halo, Dok.”

Kemudian dokter Abu bertanya kepada saya tentang jenis anestesi apa yang saya pilih. Dan, trust me, pilihannya gak ada yang mampu menghibur saya. (Opsi yang paling ekstrem sih yang mampu bikin saya tertidur selama 24 jam. 

YES! TIDUR SELAMA 24 JAM, GUYS! Tinggal nunggu Pangeran Kodok aja datang dan cium saya supaya terbangun. Eww!

Lalu, hari operasi pun datang. Setelah melalui proses persiapan operasi yang lumayan ‘repot’ seperti mengosongkan usus besar, cek darah dan tekanannya, serta fokus untuk keep calm

Sekitar hampir pukul 13.00 WIB, dua suster menggiring ranjang saya menuju lantai 2 (di mana ruang operasi berada). Udahlah, saya mah cuma bisa cirambay alias menangis tanpa suara. Perasaan deg-degan campur takut udah gak keruan.

Tadaaa! Masuklah saya ke sebuah ruangan berpintu besar dan berkaca film hitam pekat.

Napas sudah mulai agak kacau ritmenya. Air mata masih berderai tanpa ada suara isak. 

Terlihat ada 6 orang berbaju, bermasker, dan bertutup kepala serbahijau. Oh syit, ini macem di film-film tuh beneran kayak gini ternyata.

Saya digantikan baju dengan warna yang sama dengan mereka. Bukan, kami bukan mau manggung. Tapi persiapan operasi. Setelah baju diganti, saya pun harus pindah tempat tidur juga. Ke ranjang tanpa rail, dengan warna hijau juga. Gosh! Matching abis!

Setelah itu, saya pun masuk lagi ke ruangan selanjutnya. Saya mengira bahwa ruangan inilah yang akan dijadikan ruang operasi. Dan lagi-lagi saya salah. Ruangan kedua ini masih jadi ‘persinggahan’. Tampak para dokter dan perawat sedang briefing. Saya gak nyimak jelas. Karena telinga saya sudah dipenuhi dengungan kecemasan.

Inhale… exhale….

Tak lama, sebuah pintu di atas saya kepala saya dibuka. (Yah you know atas kepala ya, bukan depan muka.) Kali ini desir angin dingin bertiup keluar dari ruangan tersebut. Tampak seperti ada asap tipis yang berembus. Ya, ruangan bercahaya superterang itu semakin terlihat seperti freezer.

Okey. Tak lama, saya pun dibawa ke ruangan ketiga ini. Dengan dinding serbaputih, pendingin ruangan ekstrem, dan pencahayaan yang terangnya mengalahkan cahaya lampu stadion. 

Napas saya mulai gak beraturan. Air mata makin deras. Udah susah mengambil sisi lucunya lagi di sini. Lalu, hadir lagi sebuah ranjang (yang lebih pas disebut meja) di samping saya. Dan katanya, saya akan dipindahkan lagi ke situ. 

Sudahlah. Saya pasrah. Atur napas sedemikian rupa sambil air mata semakin menderas. Saya pun mengajukan beberapa pertanyaan ke dokter. Pertanyaan yang terdengar seperi bergumam, pastinya. Karena saya sudah lemas dan supertakut.

Ada 4 pencapit berkabel yang dijepit di kedua tangan dan kaki saya. Ditambah kabel-kabel yang dipasang di dada saya. Makinlah saya pasrah….

Dinginnya ruangan tak mampu membuat wajah saya membeku. Tapi justru semakin memanas. Otak saya memerintahkan saya untuk berhenti bicara bertanya dan menangis. 

Dan memang pertanyaan-pertanyaan saya itu gak ada yang dijawab dengan perfekto oleh para dokter atau perawat yang mengelilingi saya.

Lalu, terlihat sebuah suntikan berukuran gigantis ditancapkan ke tangan kiri saya melalui portal infusan. Sambil terdengar suara dokter berucap, “Selamat tidur, Mita….” 

Dan beberapa saat kemudian, suara-suara pun lenyap dan pandangan saya menggelap.

2 Comments

Leave a comment