Belajar Ikhlas dan Memaafkan dari Bapak

Terakhir saya merasa kehilangan seseorang adalah saat Bapak pergi. Bapak adalah kakek—ayah dari Mamah saya. Meski mungkin ingatan masa kecil saya tak banyak dengan beliau, tapi saya tahu, masa remaja saya banyak bersamanya.

Saat saya masih SMP dan tinggal di Bontang—Kalimantan Timur, Bapak pernah nungguin saya di teras rumah sementara saya mengobrol dengan teman cowok di dekat pagar rumah. Bapak itu sebenarnya gak galak, tapi dia akan ‘akting’ galak ke cowok-cowok yang menurutnya lagi pedekate ke saya. Mungkin dia takut saya jatuh cinta pada orang yang gak tepat. EHEUHEU.

Lalu, saat SMA, saya mulai hidup baru dengan berhijrah dari Bontang ke Bandung. Waktu itu, saya merasa ada banyak kehilangan. Kesempatan-kesempatan untuk mengembangkan sayap sebagai presenter teve lokal dan penyiar radio sangat terbuka lebar. Tapi, saya gak gentar untuk memantapkan hati berpindah dan memulai semuanya dari nol di Bandung.

Sepanjang saya di SMA, Bapak dan Emak—yang tinggalnya di Sukabumi—sering mengunjungi saya di Bandung. Bapak masih senang bercerita, mendongeng apa pun tentang kampung halaman. Meski beliau katakan itu adalah cerita nyata, tapi saya selalu menganggap semua ceritanya adalah dongeng. Karena gak masuk di logika saya, kadang-kadang. HEHE.

Terlepas itu cerita nyata atau bukan, saya selalu menikmati momen-momen beliau bercerita. Dan setelah setahun lebih Bapak pergi, saya pun masih merindukan momen itu. Hati saya sering kali mencelus dan air mata sulit dibendung. *CENGENG MODE:ON*

Bapak dan Emak menemani masa remaja saya yang sibuk sekolah, les bahasa-bahasa, dan bekerja. Mereka selalu dukung aktivitas saya yang seabrek-abrek. Entahlah, saat itu baterai saya gak pernah ada istilah low-batt. Beda sama sekarang. HEHE. (Meski kata temen, bedanya cuma dikit~) Kalau sekarang, saya berhenti atau rem mendadak saat sakit dan ada jarum infus di tangan. Sad.

‘Neng, yang terpenting dalam hidup mah adalah jadi orang yang berhati baik.’

Kalimat di atas, tentunya adalah hasil terjemahan saya dari pesan Bapak dalam bahasa Sunda. Selalu terngiang nyaring saat saya merasa sangat sedih dan terpuruk karena sesuatu atau seseorang. Banyak pesan dari Bapak yang menjadi Life101 buat saya.

Hal lainnya yang saya paling ingat adalah pelajaran tentang menjadi ikhlas dan memaafkan. Apa pun atau siapa pun, yang membuat kita sedih, marah, atau merasa kehilangan…. ikhlas dan maafkan. 

Sampai pada puncak kesedihan saya di Agustus 2014 lalu, Bapak pergi. Dan semua cerita dan Life101 darinyalah yang tertanam dalam benak saya. 

Mungkin… pelajaran dari Bapak yang terakhir mendengung bising di benak saya adalah saat saya kecelakaan dan dua bulan pasca-operasi.

Tak mudah menjadi ikhlas dan memaafkan keadaan. Bahkan, sampai saat inipun saya masih belajar memahami.

Menghadapi realitas; kalau saya belum sembuh total dan masih harus menghadapi operasi kedua sekitar Mei tahun ini. Bismillah. Be good, kaki kanan. I love you.  

Bapak, saya rindu Bapak. Sangat rindu. *Al Fatihah*

Leave a comment